Sumber : http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/09/index.html Bom Waktu Penganggur Sarjana Oleh Misriadi
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Fasli Jalal mengungkapkan, setiap tahun lebih dari 1 juta lulusan perguruan tinggi tidak terserap dunia kerja alias menganggur. Diperkirakan jumlah mereka pada 2007 meningkat lebih tinggi, karena data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari 2007 sudah menunjukkan angka 740.206 orang. Jumlah terbesar adalah dari lulusan universitas.
Setiap tahun para lulusan perguruan tinggi ini memasuki dunia kerja. Harapan mereka untuk segera memperoleh pekerjaan yang layak selalu dibalut kecemasan jika ternyata dirinya akan semakin menambah panjangnya daftar “orang nganggur”.
Optimisme memang harus dibangun. Akan tetapi realitas yang ada pun tak bisa disembunyikan. Sederet problem ketenagakerjaan yang menjadi penyakit lama negeri ini belum juga tampak ada tanda-tanda menuju kondisi yang lebih cerah dan menjanjikan. Angka pengangguran di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, 54 persen dari angkatan kerja, yakni sekitar 50 juta jiwa. Dari jumlah itu, 60 persen (sekitar 30 juta jiwa) terkategori pengangguran terdidik, termasuk sarjana.
Kenapa bisa begitu banyak pengangguran? Sebenarnya banyaknya pengangguran ini paling tidak berpangkal pada tiga hal. Pertama, banyak angkatan kerja baru yang setiap tahun mengalir, namun tidak tertampung dalam dunia kerja. Keadaan demikian yang terus-menerus telah menghasilkan tumpukan pengangguran. Ditambah lagi dengan persoalan kedua, yaitu adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi mereka yang memang sebelumnya bekerja. Ketiga, kebanyakan orang tidak dapat berusaha mandiri akibat tidak memiliki modal, lahan maupun keahlian, kesempatan.
Persoalan pertama dimungkinkan karena tidak seimbangnya penawaran tenaga kerja dengan kebutuhan. Baik karena sempitnya lapangan kerja ataupun tidak sesuainya keahlian yang ditawarkan oleh pencari kerja dengan keahlian yang diperlukan dunia kerja. Tentu hal ini merupakan dampak dari kebijakan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan, sehingga yang tumbuh bukanlah perkembangan ekonomi rakyat, melainkan konglomerasi oleh segelintir orang.
Non-Eksakta
Selain itu, dunia pendidikan yang tidak menukik pada persoalan yang praktis yang diperlukan dalam kehidupan. Apalagi pendidikan yang serba tanggung. Memahami kerangka teoretis setengah-setengah. Ujungnya ke sini tidak ke sana pun tidak. Muara semua itu adalah pengangguran.
Para sarjana yang menganggur itu kebanyakan adalah lulusan program studi non-eksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan politik). Menurut data, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia (1,6 juta di PTS, sisanya di PTN), 78 persen di antaranya menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedang 12 persen di bidang teknologi dan hanya 10 persen yang menempuh kuliah di bidang sains.
Menurut beberapa pakar, program studi yang ditawarkan berkaitan dengan sains dan teknologi harus jauh lebih besar dibanding dengan program studi pendidikan dan sosial. Karena, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang dibutuhkan adalah pengembangan ilmu-ilmu eksakta, terutama bidang-bidang yang mampu menjawab tantangan industrialisasi.
Tak bisa dimungkiri bahwa maju mundurnya ekonomi suatu negara tidak lepas dari seberapa jauh negara tersebut melakukan pengembangan SDM. Jepang yang 50 tahun lalu hancur akibat kalah perang, kini menjadi adikuasa ekonomi. Begitu juga dengan Malaysia yang pada thun 1970-an masih mengimpor guru dari Indonesia, kini memiliki gross national product (GNP) 4 kali lipat Indonesia.
Berbicara tentang SDM, apalagi dikaitkan dengan tenaga kerja terdidik, menjadi tantangan nasional bagi dunia pendidikan kita. Sejak awal 90-an sebenarnya telah ada kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang secara langsung atau tidak langsung berupaya meningkatkan penerimaan tamatan perguruan tinggi oleh pengguna tenaga kerja (industri), yaitu adanya paradigma baru perguruan tinggi tentang otonomi, akuntabilitas, akreditasi, evaluasi dan mutu.
Kebutuhan
Jika pemahaman makna mutu adalah memenuhi kebutuhan, dan harapan, serta kepuasan pelanggan, maka setiap perguruan tinggi seharusnya selalu memperhatikan kebutuhan pelanggan. Saat ini Ditjen Dikti melakukan studi yang menyangkut employability tamatan perguruan tinggi.
Selama dekade 80-an, ada suatu elemen penting dalam pendidikan nasional yang dianggap penting pada ekonomi modern yang dinamis, terutama karena munculnya berbagai usaha kecil yang diyakini menjadi sumber utama bagi peluang pekerjaan, yaitu gagasan pendidikan kewirausahaan (entrepreunership). Masalahnya kemudian bukan terletak pada pertimbangan tingkat pendidikan mana harus diajarkan pendidikan kewirausahaan ini, tetapi lebih pada apa dan kapan diajarkan serta bagaimana mengajarkannya.
Yang lebih penting lagi adalah untuk dapat menjamin, memberikan suasana dan iklim yang mendukung pengembangan kewirausahaan sebagai salah satu mata rantai perekonomian ini adalah bagaimana mengupayakan adanya kemauan baik pemerintah/negara dalam menata kembali sistem perekonomiannya dengan menyadari bahwa sistem ekonomi Indonesia yang cukup kapitalistik ini telah melahirkan banyak kesenjangan dan ketidakadilan.
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi HARMONI Bogor
Advertisements
Apa yg saya dapati adalah kemahiran yang kurang adalah punca utama masalah penganguran. kurangnya skill, penuturan bahasa asing, dan penguasaan teknologi seperti komputer dsb. Selain itu teori yg kita dapat semasa berstatus pelajar, ditemui amat berbeda dengan apa yg dituntut di dunia kerja. Banyak yg cemerlang dlm pendidikan bukan jaminan berjaya di dunia kerja….